Papuan Lives Matter

Serba-Serbi Rasisme dan Colorism di Indonesia

KSB Human Unpad
4 min readJun 21, 2020
Seorang pelajar Papua memprotes di Jakarta, Agustus lalu, dengan wajah dicat warna bendera separatis “Morning Star” yang dilarang.

Hitam, dekil, gosong, serta rentetan istilah colorism lainnya kerap meramaikan ruang dialog dalam kehidupan sehari-hari kita. Rasanya memiliki kulit gelap seolah-olah membuat derajat seseorang lebih rendah sehingga rasa percaya diri pun pudar. Lantas, jika kurang putih, berbagai produk pemutih dianggap sebagai solusi terbaik atas masalah ini. Sebaliknya, ujaran seperti, “Sekarang kamu putihan ya,” dinilai sebagai pujian oleh orang yang menerimanya. Sayangnya pola pikir seperti ini masih tertanam dengan kuat pada banyak masyarakat di dunia, terlebih masyarakat di Indonesia.

Colorism atau stratifikasi berdasarkan warna kulit merupakan proses pemberian privilese atau hak istimewa kepada orang berkulit terang atas orang berkulit gelap pada hak asasi dasar manusia, pendapatan, pendidikan, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Kematian dari George Floyd, seorang African-American yang tewas akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Minneapolis mengingatkan bahwa colorism yang juga berkaitan erat dengan rasisme merupakan isu serius yang harus dilawan bersama-sama. Akibat hal ini Volume gerakan Black Lives Matter kemudian juga meningkat pesat pada berbagai platform di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita harus berkaca pada negara sendiri, Indonesia, yang masih ‘melanggengkan’ colorism dan rasisme yang diikuti dengan kekerasan fisik maupun verbal khususnya pada masyarakat Papua. Di mana keadilan itu?Apa kabar keadilan? Pertanyaan ini menjadi salah satu titik yang harus ditegakkan apabila banyak colorism dan rasisme yang terus terjadi di Indonesia.

Salah satu kasus di Indonesia terjadi di Surabaya pada bulan Agustus 2019. Kejadian berlangsung saat polisi dan tentara mengepung asrama Kamasan yang dihuni mahasiswa Papua akibat adanya dugaan perusakan bendera merah putih oleh mahasiswa Papua. Tak cukup menyerang dengan gas air mata, mereka juga menghina mahasiswa Papua dengan hinaan rasis. Tindakan ini merupakan praktik main hakim sendiri yang juga ikut menodai hukum di Indonesia. Sangat disayangkan, aparat negara yang seharusnya lebih paham alur hukum dari masyarakat biasa kini justru sebagai pihak yang dungu atas hukum itu sendiri.

Selain menerima kekerasan fisik dan verbal, masyarakat Papua dibungkam kebebasan berpendapat dalam memperjuangkan hak-haknya. Pembungkaman terjadi belakangan ini pada tujuh tahanan politik asal Papua yang menuntut rasisme di Balikpapan dan dijerat 5–17 tahun penjara akibat pasal makar. Tuntutan dari mahasiswa-mahasiswa Papua tersebut sudah jelas, yaitu menuntut keadilan dan rasisme yang dialami oleh mereka sejak dahulu. Sebagai negara demokrasi, seluruh rakyat Indonesia memiliki haknya masing-masing untuk berpendapat dan memperjuangkan keadilannya. Jika kebebasan tersebut dibelenggu, maka apa makna dari demokrasi yang seakan-akan ‘diagungkan’ oleh pemerintah belakangan ini?

Selain kebebasan berpendapat yang terbelenggu, hal ini juga memperlihatkan adanya ketimpangan antara hukuman pelaku rasisme dan hukuman penegak rasisme. Buctar Tabuni dituntut 17 tahun penjara, Agus Kosay dan Stevanus Itlay (Ketua Komite Nasional Papua Barat / KNPB) dituntut 15 tahun penjara, sedangkan empat mahasiswa lainnya, yakni Ferry Kombo (eks Ketua BEM Universitas Cendrawasih) dan Alexander Gobay (ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura) dituntut 10 tahun penjara, serta Hengky Hilapok dan Irwanus Urobmabin dituntut 5 tahun penjara karena terjerat UU Makar. Sedangkan Syamsul Arifin, PNS di pemkot Surabaya yang terbukti bersalah menghina dengan sebutan “monyet” kepada mahasiswa Papua pada kasus di atas (paragraf 3) hanya dituntut 5 bulan penjara dengan denda 1 jt.

Menurut Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, polisi melakukan tindakan diskriminatif karena perlakuan yang berbeda antara aksi mahasiswa Papua dengan aksi-aksi massa lainnya. Hal ini kemudian menurut peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, sebagai “menghalau asap tapi tidak memadamkan bara apinya” sebab semakin ditekan, mahasiswa Papua semakin berani untuk berekspresi dan tidak luput dari kata menyerah. Polisi perlu hadir dengan prosedur dan pendekatan baru ketika menghadapi pendemo ataupun mahasiswa Papua. Adriana menilai bahwa membuka ruang dialog yang sehat antara mahasiswa, pemerintah, dan aparat dapat dijadikan pendekatan baru untuk melerai aksi demo yang tidak berkesudahan.

Mungkin beberapa dari kalian masih bersikap acuh tak acuh dengan isu rasisme serta colorism ini sehingga berpikir untuk menyerahkannya kepada para aktivis atau pemerintah di luar sana. Pola pikir seperti ini lagi-lagi adalah bagian dari privilise sebagai non-Papua, sebagai orang yang terlahir dengan kulit terang. Dalam hal ini, isu rasisme pantasnya menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali; sebagai satu kesatuan yang utuh. Tuntut keadilan secara penuh bagi seluruh orang Papua, hukum semua pelaku rasisme yang ada sesuai dengan regulasi, atau mungkin tuntut pula reformasi pada sektor keamanan negara.

Edukasi diri; membaca, menonton, dan mendengarkan memang membutuhkan niat dan usaha yang lebih. Namun, saat ini adalah momen yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran bahwa di depan mata ada saudara-saudara kita yang membutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Menjadikan aksi rasisme dan colorism di negara lain sebagai upaya menumbuhkan rasa peduli terhadap keadaan di negara sendiri. Refleksi kembali terhadap rasisme dan colorism yang terjadi pada kehidupan sehari-hari serta bagaimana kita mengambil langkah untuk meruntuhkan pandangan-pandangan diskriminatif tersebut. Semua ras, warna, dan tradisi memiliki nilai dan keindahannya masing-masing tanpa penilaian atas siapa yang lebih atau kurang. Bhinneka Tunggal Ika.

--

--

KSB Human Unpad
KSB Human Unpad

Written by KSB Human Unpad

Departemen Kajian Sosial Budaya Huria Mahasiswa Antropologi Universitas Padjadjaran

No responses yet